Sabtu, 21 Februari 2009

Preman(isme)

SEKITAR 3.000 preman telah dijaring dalam operasi yang dilakukan Kepolisian RI di beberapa kota. Mereka umumnya adalah preman yang beroperasi di sektor informal alias preman kelas bawah. Operasi ini memang tidak sedahsyat penembakan misterius (‘Petrus’) pada tahun 1981-1982, dimana pihak keamanan (militer) melakukan pengadilan jalanan atas orang-orang yang dinilai sebagai pelaku kejahatan. Petrus menuai reaksi keras dari sebagian masyarakat karena “pengadilan instan” yang anti hukum dan HAM itu. Ironisnya, para korban ‘Petrus’ umumnya adalah mereka yang sebelumnya mendukung salah satu kekuatan sosial politik terbesar waktu itu.
Dibanding dengan operasi ‘Petrus’, operasi anti kejahatan preman kali ini jauh lebih “beradab”. Jika ‘Petrus’ melakukan tindakan “pukul dulu urusan belakangan”, maka operasi anti kejahatan preman kali ini lebih mempertimbangkan segi yuridis dan hak azasi manusia (HAM).
Budaya Tanding
Istilah preman tidak muncul dari jagat kriminal, melainkan dari dunia orang-orang anti kemapanan. Secara etimologis ‘preman’ berasal dari kata free man (manusia bebas). Free man merupakan terminologi yang dipakai kalangan masyarakat yang ingin melakukan alias budaya tanding terhadap berbagai konvensi sosial atau aturan-aturan yang mengikat dan established (mapan). Mereka memuja kebebasan agar bisa hadir “menjadi dirinya” secara otentik, meskipun pilihan itu kadang cenderung asosial. Pola pikir ini tentu datang dari kelompok sosial menengah yang telah memiliki kesadaran atas nilai-nilai.
Sebagai istilah kriminal, preman dapat dimaknai sebagai subjek yang melakukan penyimpangan nilai, norma dan etika dengan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan jangka pendek. Sebelum istilah preman populer, masyarakat lebih dulu mengenal istilah gabungan anak liar (‘gali). Konotasi ‘gali’ tidak selalu penjahat, melainkan ‘anak nakal’ yang sering menimbulkan keonaran (berkelahi) dan aktivitas lain yang cenderung bermuara pada kekerasan. Dalam perkembangannya, istilah ‘gali’ ini diadopsi oleh kalangan pelaku kriminal, sebelum muncul sebagai istilah preman.
Preman dipahami sebagai predikat yang prestisius, elitis dan ‘terhormat’ dibanding predikat penjahat, garong, perampok, copet, pemeras dan lainnya.
Rakus Egois
Dalam talkshow di TV One, Anton Medan mantan preman dan kini dikenal sebagai dai, membagi preman menjadi tiga macam: (1) preman kelas bawah, (2) preman kelas menengah, (3) preman kelas atas. Preman kelas bawah adalah preman yang beroperasi di sektor-sektor informal, misalnya melakukan pungutan liar (pungli), dan lainnya.
Preman kelas menengah adalah preman yang bekerja untuk kepentingan kelas menengah (debt collector dan lainnya). Sedangkan preman kelas atas adalah para pelaku kejahatan yang memiliki kekuasaan misalnya para koruptor.
Kemunculan preman kelas bawah berkaitan erat dengan problem sosial: kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah. Kemiskinan menjadikan orang tidak mampu memiliki pilihan yang banyak untuk beraktualisasi dan bereksistensi (mengembangkan berbagai potensi dirinya untuk meraih masa depan).
Cara-cara instan pun akhirnya ditempuh, termasuk cara-cara yang menggunakan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan non fisik (kekerasan psikologis misalnya menggertak, mengintimidasi, meneror dan lainnya). Semua dilakukan demi survive. Bertahan hidup.
Sedangkan tingkat pendidikan yang minimal, menjadi orang tidak memiliki kekayaan pandangan hidup.
Sedangkan tingkat pendidikan yang minimal, menjadi orang tidak memiliki kekayaan pandangan hdiup atau pengetahuan, baik yang terkait dengan keahlian maupun sistem sosial (nilai, norma dan hukum). Para pelaku kejahatan atau penyimpangan lainnya, pada mulanya melakukan bentuk pengingkaran atas nilai (etika) yang merembet pada perlawanan atas norma dan akhirnya penyimpangan atas hukum.
Dengan keterbatasan pengetahuan dan nilai-nilai itu, maka orang cenderung lebih mudah melakukan penyimpangan, karena dalam benak (rasio) dan batinnya tidak berlangsung upaya mempertimbangkan berbagai hal. Hantam dulu urusan belakangan, menjadi jargon yang dipuja.
Tindakan represif atas preman akan menjadi hak terlalu afektif jika problem kemiskinan dan pendidikan masih menganga. Kedua masalah klasik itu selalu akan menjelma menjadi ‘monster’ yang berdaya dahsyat menyerap siapa saja ke dalam pusaran tindakan yang menyimpang. Artinya, pemerintah dituntut untuk menyediakan kanal-kanal sosial ekonomi yang memungkinkan mereka mampu bertahan dalam kehidupan.
Bagaimana dengan Premanisme
Masalah preman relatif bisa diatasi dengan pendekatan sistemik. Namun premanisme jauh lebih kompleks dan sulit untuk diatasi, karena ia terkait dengan mentalitas, pandangan hidup atau sistem nilai yang meletakkan cara-cara menyimpang sebagai pilihan untuk meraih kepentingan. Premanisme sebagai sebuah paham atau ‘ideologi’ bisa diidap siapa saja, kalangan apa saja: ia lintas sosial, kultur, politik, bahkan keyakinan dan agama. Jika para preman melakukan tindak kejahatan ‘hanya’ merugikan orang per orang, maka tindakan orang yang mengidap premanisme bisa merugikan masyarakat dan bahkan negara.
Premanisme itu antara lain bisa menyosok dalam diri koruptor, politisi kotor, penjual aset-aset bangsa, penjual keadilan, dan peran-peran sosial-politik lainnya yang destruktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mereka bukan kelompok sosial yang miskin dan mengalami problem pendidikan. Mereka sangat paham nilai-nilai, norma dan hukum. Jika mereka melakukan penyimpangan, misalnya korupsi tentu bukan karena alasan kemiskinan dan kebodohan, melainkan karena watak rakus, egois, dan tidak memiliki sikap tepa selira alias manusiawi. Mereka juga tidak memiliki idealisme terkait kehidupan bangsa dan negara. Mereka jauh lebih berbahaya dibanding para preman. Dibutuhkan pendekatan yang sistemik dan komprehensif (luas, meliputi banyak hal) untuk memberantas premanisme. q - m. (4857-2008).
*) Indra Tranggono, Pemerhati Budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar