Sabtu, 21 Februari 2009

CATATAN BUDAYA AKHIR TAHUN 2008

KETIKA kebudayaan dikendalikan dan ditentukan kekuatan modal, ia pun kehilangan daya gugah, daya gugat dan daya inspirasi yang bermakna bagi terbangunnya kesadaran dan daya cipta publik. Akibatnya, semangat inisiatif dan elan kreatif publik pun melemah, digantikan spririt yang serba praktis dan pragmatis. Publik pun semakin kehilangan sikap dan semangat kemandiriannya secara kultural dan cenderung takluk kepada hegemoni budaya massa. Namun, di sisi lain muncul semangat indie dalam ekspresi seni (film, senirupa) yang bisa diartikan sebagai budaya tanding. Inilah, teks kebudayaan yang dapat kita baca, selama tahun 2008.
Kebudayaan dapat dimaknai sebagai sistem yang membangun nilai-nilai wacana/konsep ilmu pengetahuan, ekspresi estetik non estetik dan daya produksi benda-benda budaya. Kebudayaan selalu berorientasi pada kualitas nilai dan kualitas kemanusiaan. Namun, ketika dikendalikan kekuatan modal, maka kebudayaan mengalami pemiskinan nilai-nilai.
Beberapa kenyataan bisa kita baca dalam konteks pengendalian kekuatan modal atas kebudayaan. Di dunia pendidikan, misalnya. Peran dan fungsi lembaga pendidikan makin condong menjadi ‘lembaga bisnis’ daripada lembaga pencerdasan dan pembentukan karakter bangsa. Di bidang politik? Lembaga politik (partai politik atau parlemen) semakin tenggelam dalam pragmatisme yang dikendalikan kekuatan uang. Demokrasi yang terbangun pun adalah demo-krasi uang.
Kesenian? Seperti juga kesenian pop dan tradisi, kesenian yang serius dan berorientasi kepada art pun tidak mampu mengatasi kekuatan modal. Jagat kesenian telah kehilangan kemandiriannya untuk mengekspresikan dirinya kepada publik. Mereka harus mendapat dukungan finansial dari pemilik modal. Tanpa dukungan itu, kesenian pun macet. Persoalannya, para kapitalis tidak akan mungkin memberikan dukungan finansial kepada seluruh jenis kesenian. Bagi kapitalis, hanya kesenian yang sesuai dengan kepentingan pasar (atau citra yang diharapkan kapi-talis) yang didukung. Di luar itu, kesenian lain harus jatuh bangun atau memilih untuk vakum, sambil menunggu sikap ‘baik hati’ pemerintah atau lembaga donor mengucurkan dana. Sementara, kesenian yang ‘subversif’ dan mencerminkan otentisitas penciptaan, makin langka.
Di luar beberapa contoh di atas, masih banyak contoh lain yang menunjukkan sangat digdayanya kekuatan modal menentukan detak nadi dan napas kebudayaan. Intinya: tanpa campur tangan kekuatan modal, kebudayaan pun ‘lumpuh’. Kondisi ini merupakan akibat dari desain besar negara (baca: pemerintah) yang ‘menyerahkan’ nasib ekonomi bangsa kepada kekuatan modal. Akhirnya: Indonesia tidak lebih dari pasar bebas, dimana peran negara menjadi tidak terlalu signifikan, dalam konteks penyejahteraan rakyat dan pembangunan kebudayaan. Negara lebih berperan sebagai ‘panitia pasar bebas.
Hal yang paling mencemaskan adalah hegemoni kapitalisme telah menciptakan cara berpikir serba material (material oriented) bangsa ini. Celakanya, negara tidak menciptakan peluang secara adil dan kompetitif bagi warga-bangsa untuk memiliki berbagai akses yang memungkinkan berkembang, sebagaimana yang terjadi dalam negara kapitalis. ‘Perselingkuhan’ antara feodalisme dan kapitalisme telah menimbulkan tradisi kolusi, nepotisme, korupsi dan akhirnya melahirkan masyarakat tanpa keadilan.
Masyarakat yang telah diformat material oriented akhirnya mengalami frustrasi sosial, ketika menghadapi berbagai kenyataan yang selalu diukur dengan uang atau material. Kemiskinan yang membelit, menjadikan masyarakat tidak memiliki daya beli atau ‘daya tukar’ dalam kultur pasar yang tidak kenal kompromi. Punya uang Anda dihargai, tidak punya uang Anda dipersilakan ‘mati’.
Ketika kekuatan modal menentukan kebudayaan, maka kebudayaan kehilangan potensinya untuk membangun masyarakat madani (civil society). Ciri-ciri masyarakat madani antara lain: mandiri, memiliki daya inisiatif/ kreatif, demokratis, menjunjung tinggi pluralisme, memiliki identitas budaya, solider, dan visioner.
Dari beberapa ciri itu, bangsa ini makin kehilangan kemandirian. Hal ini berakibat pada lemahnya inisiatif publik untuk melakukan berbagai kerja kebudayaan yang bermakna bagi pengembangan publik itu sendiri. Di wilayah kesenian, misalnya, kita melihat pudarnya semangat inisiatif dan kemandirian publik untuk melahirkan kreativitas. Umumnya, mereka menggantungkan diri kepada lembaga dana (pemerintah, lembaga donor asing dan industri). Tanpa kucuran dana (yang umumnya besar) kegiatan pun macet. Yang dipersoalkan di sini bukan munculnya peran lembaga dana, melainkan cara berfpkir yang meletakkan dana sebagai satu-satunya potensi yang menggerakkan kreativitas. Semestinya, kreativitaslah yang diposisikan sebagai faktor yang utama dan menentukan. Maka, wajar jika kini sulit ditemukan kreativitas kesenian yang fenomenal dan menandai semangat zaman, seperti yang lahir pada pertengahan 1960-an hingga 1980-an; kecuali karya beberapa gelintir seniman atau kelompok kesenian yang unggul mengatasi berbagai tekanan.
Sebelum kapitalisme menguat, negara ini relatif miskin dan pelan-pelan mengalami kesejahteraan. Pada saat itu, lahir banyak pemikiran yang cemerlang, lahir ekspresi kesenian yang kuat, lahir manusia-manusia yang kreatif, lahir banyak negarawan, dan muncul banyak lembaga yang berkualitas.
Sementara sekarang, ketika ‘uang melimpah’, bangsa ini justru menghadapi problem kebudayaan. Ternyata, kebudayaan tidak dapat di-ukur dan dikendalikan oleh uang dan materi. Kebudayaan membutuhkan ruang kehidupan yang kondusif, sistem kekuasaan yang berpihak kepada rakyat dan masyarakat yang mampu mengapresiasi nilai-nilai mendasar dan ideal. Kini, semua prasyarat itu semakin lenyap dan digantikan nilai-nilai yang serba pragmatis dan praktis, dimana uang jadi ukuran dominan. q - m
*) Indra Tranggono, pemerhati kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar