Sabtu, 21 Februari 2009

CATATAN BUDAYA AKHIR TAHUN 2008

KETIKA kebudayaan dikendalikan dan ditentukan kekuatan modal, ia pun kehilangan daya gugah, daya gugat dan daya inspirasi yang bermakna bagi terbangunnya kesadaran dan daya cipta publik. Akibatnya, semangat inisiatif dan elan kreatif publik pun melemah, digantikan spririt yang serba praktis dan pragmatis. Publik pun semakin kehilangan sikap dan semangat kemandiriannya secara kultural dan cenderung takluk kepada hegemoni budaya massa. Namun, di sisi lain muncul semangat indie dalam ekspresi seni (film, senirupa) yang bisa diartikan sebagai budaya tanding. Inilah, teks kebudayaan yang dapat kita baca, selama tahun 2008.
Kebudayaan dapat dimaknai sebagai sistem yang membangun nilai-nilai wacana/konsep ilmu pengetahuan, ekspresi estetik non estetik dan daya produksi benda-benda budaya. Kebudayaan selalu berorientasi pada kualitas nilai dan kualitas kemanusiaan. Namun, ketika dikendalikan kekuatan modal, maka kebudayaan mengalami pemiskinan nilai-nilai.
Beberapa kenyataan bisa kita baca dalam konteks pengendalian kekuatan modal atas kebudayaan. Di dunia pendidikan, misalnya. Peran dan fungsi lembaga pendidikan makin condong menjadi ‘lembaga bisnis’ daripada lembaga pencerdasan dan pembentukan karakter bangsa. Di bidang politik? Lembaga politik (partai politik atau parlemen) semakin tenggelam dalam pragmatisme yang dikendalikan kekuatan uang. Demokrasi yang terbangun pun adalah demo-krasi uang.
Kesenian? Seperti juga kesenian pop dan tradisi, kesenian yang serius dan berorientasi kepada art pun tidak mampu mengatasi kekuatan modal. Jagat kesenian telah kehilangan kemandiriannya untuk mengekspresikan dirinya kepada publik. Mereka harus mendapat dukungan finansial dari pemilik modal. Tanpa dukungan itu, kesenian pun macet. Persoalannya, para kapitalis tidak akan mungkin memberikan dukungan finansial kepada seluruh jenis kesenian. Bagi kapitalis, hanya kesenian yang sesuai dengan kepentingan pasar (atau citra yang diharapkan kapi-talis) yang didukung. Di luar itu, kesenian lain harus jatuh bangun atau memilih untuk vakum, sambil menunggu sikap ‘baik hati’ pemerintah atau lembaga donor mengucurkan dana. Sementara, kesenian yang ‘subversif’ dan mencerminkan otentisitas penciptaan, makin langka.
Di luar beberapa contoh di atas, masih banyak contoh lain yang menunjukkan sangat digdayanya kekuatan modal menentukan detak nadi dan napas kebudayaan. Intinya: tanpa campur tangan kekuatan modal, kebudayaan pun ‘lumpuh’. Kondisi ini merupakan akibat dari desain besar negara (baca: pemerintah) yang ‘menyerahkan’ nasib ekonomi bangsa kepada kekuatan modal. Akhirnya: Indonesia tidak lebih dari pasar bebas, dimana peran negara menjadi tidak terlalu signifikan, dalam konteks penyejahteraan rakyat dan pembangunan kebudayaan. Negara lebih berperan sebagai ‘panitia pasar bebas.
Hal yang paling mencemaskan adalah hegemoni kapitalisme telah menciptakan cara berpikir serba material (material oriented) bangsa ini. Celakanya, negara tidak menciptakan peluang secara adil dan kompetitif bagi warga-bangsa untuk memiliki berbagai akses yang memungkinkan berkembang, sebagaimana yang terjadi dalam negara kapitalis. ‘Perselingkuhan’ antara feodalisme dan kapitalisme telah menimbulkan tradisi kolusi, nepotisme, korupsi dan akhirnya melahirkan masyarakat tanpa keadilan.
Masyarakat yang telah diformat material oriented akhirnya mengalami frustrasi sosial, ketika menghadapi berbagai kenyataan yang selalu diukur dengan uang atau material. Kemiskinan yang membelit, menjadikan masyarakat tidak memiliki daya beli atau ‘daya tukar’ dalam kultur pasar yang tidak kenal kompromi. Punya uang Anda dihargai, tidak punya uang Anda dipersilakan ‘mati’.
Ketika kekuatan modal menentukan kebudayaan, maka kebudayaan kehilangan potensinya untuk membangun masyarakat madani (civil society). Ciri-ciri masyarakat madani antara lain: mandiri, memiliki daya inisiatif/ kreatif, demokratis, menjunjung tinggi pluralisme, memiliki identitas budaya, solider, dan visioner.
Dari beberapa ciri itu, bangsa ini makin kehilangan kemandirian. Hal ini berakibat pada lemahnya inisiatif publik untuk melakukan berbagai kerja kebudayaan yang bermakna bagi pengembangan publik itu sendiri. Di wilayah kesenian, misalnya, kita melihat pudarnya semangat inisiatif dan kemandirian publik untuk melahirkan kreativitas. Umumnya, mereka menggantungkan diri kepada lembaga dana (pemerintah, lembaga donor asing dan industri). Tanpa kucuran dana (yang umumnya besar) kegiatan pun macet. Yang dipersoalkan di sini bukan munculnya peran lembaga dana, melainkan cara berfpkir yang meletakkan dana sebagai satu-satunya potensi yang menggerakkan kreativitas. Semestinya, kreativitaslah yang diposisikan sebagai faktor yang utama dan menentukan. Maka, wajar jika kini sulit ditemukan kreativitas kesenian yang fenomenal dan menandai semangat zaman, seperti yang lahir pada pertengahan 1960-an hingga 1980-an; kecuali karya beberapa gelintir seniman atau kelompok kesenian yang unggul mengatasi berbagai tekanan.
Sebelum kapitalisme menguat, negara ini relatif miskin dan pelan-pelan mengalami kesejahteraan. Pada saat itu, lahir banyak pemikiran yang cemerlang, lahir ekspresi kesenian yang kuat, lahir manusia-manusia yang kreatif, lahir banyak negarawan, dan muncul banyak lembaga yang berkualitas.
Sementara sekarang, ketika ‘uang melimpah’, bangsa ini justru menghadapi problem kebudayaan. Ternyata, kebudayaan tidak dapat di-ukur dan dikendalikan oleh uang dan materi. Kebudayaan membutuhkan ruang kehidupan yang kondusif, sistem kekuasaan yang berpihak kepada rakyat dan masyarakat yang mampu mengapresiasi nilai-nilai mendasar dan ideal. Kini, semua prasyarat itu semakin lenyap dan digantikan nilai-nilai yang serba pragmatis dan praktis, dimana uang jadi ukuran dominan. q - m
*) Indra Tranggono, pemerhati kebudayaan.

Preman(isme)

SEKITAR 3.000 preman telah dijaring dalam operasi yang dilakukan Kepolisian RI di beberapa kota. Mereka umumnya adalah preman yang beroperasi di sektor informal alias preman kelas bawah. Operasi ini memang tidak sedahsyat penembakan misterius (‘Petrus’) pada tahun 1981-1982, dimana pihak keamanan (militer) melakukan pengadilan jalanan atas orang-orang yang dinilai sebagai pelaku kejahatan. Petrus menuai reaksi keras dari sebagian masyarakat karena “pengadilan instan” yang anti hukum dan HAM itu. Ironisnya, para korban ‘Petrus’ umumnya adalah mereka yang sebelumnya mendukung salah satu kekuatan sosial politik terbesar waktu itu.
Dibanding dengan operasi ‘Petrus’, operasi anti kejahatan preman kali ini jauh lebih “beradab”. Jika ‘Petrus’ melakukan tindakan “pukul dulu urusan belakangan”, maka operasi anti kejahatan preman kali ini lebih mempertimbangkan segi yuridis dan hak azasi manusia (HAM).
Budaya Tanding
Istilah preman tidak muncul dari jagat kriminal, melainkan dari dunia orang-orang anti kemapanan. Secara etimologis ‘preman’ berasal dari kata free man (manusia bebas). Free man merupakan terminologi yang dipakai kalangan masyarakat yang ingin melakukan alias budaya tanding terhadap berbagai konvensi sosial atau aturan-aturan yang mengikat dan established (mapan). Mereka memuja kebebasan agar bisa hadir “menjadi dirinya” secara otentik, meskipun pilihan itu kadang cenderung asosial. Pola pikir ini tentu datang dari kelompok sosial menengah yang telah memiliki kesadaran atas nilai-nilai.
Sebagai istilah kriminal, preman dapat dimaknai sebagai subjek yang melakukan penyimpangan nilai, norma dan etika dengan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan jangka pendek. Sebelum istilah preman populer, masyarakat lebih dulu mengenal istilah gabungan anak liar (‘gali). Konotasi ‘gali’ tidak selalu penjahat, melainkan ‘anak nakal’ yang sering menimbulkan keonaran (berkelahi) dan aktivitas lain yang cenderung bermuara pada kekerasan. Dalam perkembangannya, istilah ‘gali’ ini diadopsi oleh kalangan pelaku kriminal, sebelum muncul sebagai istilah preman.
Preman dipahami sebagai predikat yang prestisius, elitis dan ‘terhormat’ dibanding predikat penjahat, garong, perampok, copet, pemeras dan lainnya.
Rakus Egois
Dalam talkshow di TV One, Anton Medan mantan preman dan kini dikenal sebagai dai, membagi preman menjadi tiga macam: (1) preman kelas bawah, (2) preman kelas menengah, (3) preman kelas atas. Preman kelas bawah adalah preman yang beroperasi di sektor-sektor informal, misalnya melakukan pungutan liar (pungli), dan lainnya.
Preman kelas menengah adalah preman yang bekerja untuk kepentingan kelas menengah (debt collector dan lainnya). Sedangkan preman kelas atas adalah para pelaku kejahatan yang memiliki kekuasaan misalnya para koruptor.
Kemunculan preman kelas bawah berkaitan erat dengan problem sosial: kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah. Kemiskinan menjadikan orang tidak mampu memiliki pilihan yang banyak untuk beraktualisasi dan bereksistensi (mengembangkan berbagai potensi dirinya untuk meraih masa depan).
Cara-cara instan pun akhirnya ditempuh, termasuk cara-cara yang menggunakan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan non fisik (kekerasan psikologis misalnya menggertak, mengintimidasi, meneror dan lainnya). Semua dilakukan demi survive. Bertahan hidup.
Sedangkan tingkat pendidikan yang minimal, menjadi orang tidak memiliki kekayaan pandangan hidup.
Sedangkan tingkat pendidikan yang minimal, menjadi orang tidak memiliki kekayaan pandangan hdiup atau pengetahuan, baik yang terkait dengan keahlian maupun sistem sosial (nilai, norma dan hukum). Para pelaku kejahatan atau penyimpangan lainnya, pada mulanya melakukan bentuk pengingkaran atas nilai (etika) yang merembet pada perlawanan atas norma dan akhirnya penyimpangan atas hukum.
Dengan keterbatasan pengetahuan dan nilai-nilai itu, maka orang cenderung lebih mudah melakukan penyimpangan, karena dalam benak (rasio) dan batinnya tidak berlangsung upaya mempertimbangkan berbagai hal. Hantam dulu urusan belakangan, menjadi jargon yang dipuja.
Tindakan represif atas preman akan menjadi hak terlalu afektif jika problem kemiskinan dan pendidikan masih menganga. Kedua masalah klasik itu selalu akan menjelma menjadi ‘monster’ yang berdaya dahsyat menyerap siapa saja ke dalam pusaran tindakan yang menyimpang. Artinya, pemerintah dituntut untuk menyediakan kanal-kanal sosial ekonomi yang memungkinkan mereka mampu bertahan dalam kehidupan.
Bagaimana dengan Premanisme
Masalah preman relatif bisa diatasi dengan pendekatan sistemik. Namun premanisme jauh lebih kompleks dan sulit untuk diatasi, karena ia terkait dengan mentalitas, pandangan hidup atau sistem nilai yang meletakkan cara-cara menyimpang sebagai pilihan untuk meraih kepentingan. Premanisme sebagai sebuah paham atau ‘ideologi’ bisa diidap siapa saja, kalangan apa saja: ia lintas sosial, kultur, politik, bahkan keyakinan dan agama. Jika para preman melakukan tindak kejahatan ‘hanya’ merugikan orang per orang, maka tindakan orang yang mengidap premanisme bisa merugikan masyarakat dan bahkan negara.
Premanisme itu antara lain bisa menyosok dalam diri koruptor, politisi kotor, penjual aset-aset bangsa, penjual keadilan, dan peran-peran sosial-politik lainnya yang destruktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mereka bukan kelompok sosial yang miskin dan mengalami problem pendidikan. Mereka sangat paham nilai-nilai, norma dan hukum. Jika mereka melakukan penyimpangan, misalnya korupsi tentu bukan karena alasan kemiskinan dan kebodohan, melainkan karena watak rakus, egois, dan tidak memiliki sikap tepa selira alias manusiawi. Mereka juga tidak memiliki idealisme terkait kehidupan bangsa dan negara. Mereka jauh lebih berbahaya dibanding para preman. Dibutuhkan pendekatan yang sistemik dan komprehensif (luas, meliputi banyak hal) untuk memberantas premanisme. q - m. (4857-2008).
*) Indra Tranggono, Pemerhati Budaya.

Parodi Politik

JURU bicara kepresidenan Andi Mallarangeng mengimbau publik untuk menghormati Presiden RI sebagai lembaga negara. Pernyataan Andi tersebut, terkait dengan munculnya plesetan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di internet (antv, 10/11).
Di layar teve itu juga dicuplik sebagian adegan yang melukiskan Presiden SBY berpidato, namun suaranya telah diganti suara orang lain dan bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan Jawa. Saya tidak tahu persis apa isi plesetan pidato itu, karena antv menyiarkan plesetan itu tidak utuh.
Plesetan pidato Presiden SBY bisa disebut sebagai parodi politik. Parodi artinya ”peniruan yang dilakukan untuk mengejek seseorang atau lembaga yang berada di ranah politik”. Ada dua bentuk ejekan; (1) ejekan yang simpatik dan etis dan (2) ejekan yang melecehkan. Parodi politik memiliki tujuan tertentu, misalnya (1) desakralisasi posisi sosial/politik seseorang misalnya presiden, (2) kritik sosial-politik dan (3) guyonan politik biasa (humor).
Desakralisasi posisi presiden merupakan upaya untuk melucuti hal-hal yang dianggap sakral atas sosok presiden. Pesan yang ingin disampaikan adalah presiden merupakan manusia biasa yang bisa disentuh (touchable). Begitu juga jabatan presiden yang dipahami sebagai peran dan fungsi politik yang terbuka atas berbagai penawaran nilai. Munculnya desakralisasi atas posisi presiden di Indonesia berlangsung secara tajam menjelang lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998, baik dilakukan oleh para mahasiswa melalui demonstrasi maupun para seniman melalui pementasan. Misalnya, aktor Butet Kartaredjasa yang menirukan suara Soeharto dalam pidato parodi secara monolog atau dalam pementasan drama.
Kritik sosial-politik dalam parodi politik adalah upaya mengkritisi kebijakan politik (dalam kasus ini adalah presiden) secara lebih serius dan diekspresikan secara jenaka, sehingga content (muatan) kritik lebih komunikatif. Pesan yang ingin disampaikan pembuat parodi antara lain adalah: tidak ada kebenaran mutlak dalam berbagai kebijakan, termasuk kebijakan presiden, karena kebenaran tidak pernah tunggal. Kebijakan presiden pun, memiliki banyak celah yang memungkinkan orang untuk merespons secara kritis.
Namun tidak semua parodi politik memiliki maksud ideal tersebut. Ini tergantung dari kapasitas para pembuat parodi politik. Jika kapasitas mereka terbatas, maka parodi politik akan terjebak menjadi guyonan biasa (tujuan ketiga) dengan kadar ejekan yang lebih kental daripada sikap kritis. Efek yang ditimbulkan tak lebih dari sekadar banyolan banal (kasar dan dangkal), bukan banyolan cerdas. Di sini tokoh tertentu, lebih diposisikan sebagai objek dagelan.
Ada bermacam-macam parodi politik. Misalnya, parodi politik visual yang berupa tiruan fisik atas tokoh. Di sini, orang melakukan parodi berdasarkan bentuk fisik tokoh dan detail perilakunya. Contohnya adalah parodi atas tokoh Gus Dur melalui citraan Gus Pur dan peniruan atas Wapres Jusuf Kalla oleh Ucup Kelik dalam tayangan Democrazy (Metro TV).
Ada juga parodi politik auditif: parodi berbentuk peniruan suara yang bertujuan untuk melakukan dekonstruksi atas citra tokoh, misalnya parodi yang dilakukan Butet dengan menirukan suara Soeharto. Yang lain? Parodi tekstual, yakni peniruan berbentuk teks, statemen tokoh-tokoh tertentu yang diplesetkan. Di sini yang dipentingkan adalah dekonstruksi atas content.
Setidaknya ada dua jenis parodi politik. Pertama, parodi politik kritis dan kedua parodi politis magis. Yang pertama bertujuan mentrasnformasikan berbagai kesadaran kritis (baca: budaya tanding) atas kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang dibangun oleh kekuatan mainstream atau dominan misalnya rezim/pemerintah. Sedang yang kedua, bertujuan menyihir masyarakat dengan bentuk-bentuk yang seolah kritis namun sesungguhnya tidak lebih dari hiburan yang justru membuat publik menjadi eskapis (melarikan diri dari kenyataan). Misalnya parodi politik yang lebih mementingkan humor daripada content kritis.
Kenapa parodi politik marak di masyarakat?
Alasan kesumpekan sosial-politik-ekonomi dapat menjadi latar belakang orang melakukan parodi. Di sini parodi politik dijadikan sebagai pelepasan, outlet, atau jalan keluar bagi bermacam kesumpekan sosial, politik dan ekonomi.
Selain itu parodi politik juga didorong oleh tuntutan industrial, di mana parodi politik dipahami sebagai komoditas yang laku dijual.
Parodi politik cenderung dihadirkan sebagai hiburan biasa, seperti yang kini sedang marak di beberapa stasiun teve. Watak industri selalu meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menjual apa saja yang sedang ”in” atau aktual di masyarakat. Bukan content atau persoalannya yang utama, melainkan kemasan dan seluruh gimmick yang menarik dan laku dijual. Bahkan tuntutan industri sering menjebak parodi politik menjadi guyonan politik yang hanya mengandalkan banyolan/lawakan dangkal. Di sana memang ada peniruan tokoh-tokoh penting misalnya presiden atau wakil presiden namun sesungguhnya yang diparodikan bukan substansinya melainkan kulit persoalannya. Sehingga, tokoh penting itu sesungguhnya tidak utama, melainkan sekadar tempelan.
Merespons pernyataan Andi Mallarangeng bahwa publik perlu menghormati presiden, kita bisa mengaitkannya dengan unsur etika sosial dalam parodi. Tidak ada ekspresi yang bebas nilai. Ada kerangka etika dan moralitas yang melingkupi setiap ekspresi. Karena itu, parodi politik yang cerdas adalah parodi yang tetap mempertimbangkan etika sosial (tidak menyakiti perasaan orang atau kelompok)
Selain itu, pelaku atau pembuat parodi politik pun harus memiliki rasa tanggung jawab atas semua risiko yuridis. Sebab, mungkin sebuah parodi politik bisa menimbulkan rasa tidak senang bagi orang yang diparodikan. Ini menunjukkan bahwa parodi politik membutuhkan kemampuan yang berlapis-lapis baik secara intelektual, teknis maupun etis dan estetis. Modal banyolan saja tidak cukup. (Indra Tranggono, Pengamat Budaya)-a

Pamong Budaya

DI dalam sistem pendidikan/ pengajaran Tamansiswa, tidak digunakan istilah guru. Yang ada adalah pamong. Tugas pamong jauh lebih kompleks dan berat dibanding guru yang mendidik murid menjadi ‘sekadar’ pintar/pandai dan terampil. Pamong memiliki tanggung jawab moral, sosial dan kultural untuk mengolah kepribadian siswa menjadi subjek yang memiliki kemampuan intelektual, kecakapan teknis, kecerdasan/kematangan emosional, kejujuran, sikap adil dan dedikasi. Intinya, di samping mengolah segi kognitif, afektif dan psikomotorik, pamong juga membangun segi mental dan spiritual sehingga siswa memiliki integritas dan karakter. Tugas mulia ini sinkron dengan makna pamong, yakni pengasuh (pamomong). Terhadap siswanya, pengasuh juga menjalankan fungsi orangtua, merawat, mengembangkan dan membesarkan kepribadian anak.
Didorong keinginan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia pamong di lingkungan Tamansiswa se-Indonesia. Majelis Luhur Tamansiswa (MLTS) akan menyelenggarakan ‘Pelatihan dan Workshop Pamong Budaya Nusantara’, 6 sampai 9 November 2008, di Kaliurang Yogyakarta. MLTS punya harapan, para pamong di samping memiliki kapasitas sebagai pendidik/pengajar juga mempunyai kapasitas sebagai pelaku budaya, seperti pada masa sebelumnya (awal berdirinya Tamansiswa hingga tahun 1980-an). Para pamong yang memiliki kapasitas sebagai pelaku budaya atau bahkan budayawan bisa kita sebut antara lain, Ki Suratman, Ki Said Reksohadiprojo, Ki Hadi Sukatno, Ki Nayono, Ki Mohamad Said, Ki Oengki Soekirno dan Ki Priyo Dwiarso.
Tidak terlalu berlebihan jika di- katakan bahwa sistem pendidikan Tamansiswa sekarang terlalu teknis dan rigid terhadap ketentuan pemerintah (sebuah keharusan yang tidak bisa ditolak). Akibatnya, suasana belajar-mengajar pun menjadi ‘kering’. Kondisi ini masih ditambah hubungan pamong-siswa yang tidak seintens dulu. Akhirnya, Tamansiswa menjadi lembaga pendidikan yang nyaris tidak berbeda (jauh) dengan lembaga pendidikan yang lain. Kini, karakter kultural itu kurang menonjol seperti pada keberadaan Tamansiswa sebelumnya. Padahal, karakter kultural merupakan kekayaan Tamansiswa yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya. Keunggulan itu terbukti telah melahirkan tokoh-tokoh yang kini eksis; misalnya tokoh-tokoh yang pada tahun 1950-an hingga 1980-an menempuh pendidikan di Tamansiswa. Terlalu banyak untuk disebut.
Jika ingin melahirkan banyak pamong budaya, maka salah satu jalan yang bisa ditempuh Tamansiswa adalah mengembalikan karakter kultural pada dirinya.
Kultur tentu tidak sebatas kesenian, melainkan nilai-nilai kreativitas yang digali melalui eksploitasi dan transformasi. Eksplorasi merupakan penjelajahan atas wilayah-wilayah sosial-kultural untuk menemukan berbagai nilai yang dapat menjawab tantangan kehidupan. Eksplorasi juga memungkinkan kita melakukan berbagai terobosan untuk menemukan nilai-nilai kemungkinan yang baru dan segar. Sedangkan transformasi merupakan perubahan kebudayaan yang menghasilkan nilai-nilai baru melalui dialog dan penafsiran yang panjang dan intens. Untuk menjadi praksis maka eksplorasi dan transformasi itu perlu diterjemahkan, diurai dalam sistem pendidikan Tamansiswa.
Melahirkan para pamong budaya berarti melahirkan subjek-subjek budaya yang memiliki kemampuan minimal tiga hal, yakni: 1. Budaya ide (wawasan atas nilai-nilai kebudayaan, sistem pengetahuan); 2. Budaya ekspresi (daya cipta berupa ekspresi estetik dan non estetik); dan 3. Budaya hasil/produk (kemampuan menciptakan produk fisik).
Budaya ide akan mengantarkan pamong budaya kepada seluruh dinamika nilai melalui olah gagasan/pemikiran/berbagai wacana/konsep-konsep. Artinya, pengolahan budaya ide menjadikan pamong budaya memiliki kematangan konseptual; di mana seluruh aspek kebudayaan dirancang untuk kemudian dibangun. Kita tahu, kebudayaan diawali ide. Kualitas ide menentukan kualitas kebudayaan.
Budaya ekspresi mendorong pamong budaya pada penguasaan idiom-idiom ungkap, simbol-simbol, sistem tanda, sistem perilaku, sistem komunikasi, baik secara estetik dan non estetik. Kemacetan kebudayaan sering diakibatkan karena para pendukungnya kehilangan sistem komunikasi, sistem simbol dan sistem perilaku/ekspresi. Akibatnya, kebudayaan tersebut gagal dipahami masyarakat dan akhirnya mengeras dan membatu menjadi sekadar artefak. Karena kebudayaan itu dinamis, maka manusia harus selalu menemukan cara-cara baru, sistem-sistem baru untuk mengomunikasikan kepada khalayak. Cara-cara itu bisa ditemukan melalui eksplorasi: penjelajahan.
Budaya produk mengajari manusia untuk mengenal sistem produksi sekaligus melahirkan hasil-hasil kebudayaan yang bersifat fisik. Benda-benda, baik konsumsi maupun non-konsumsi lahir dari sistem pengetahuan atau sistem penciptaan yang sesuai dengan kebutuhan manusia, bukan sekadar ditentukan kerja fisik.
Selain itu, kita pun perlu mengenal dua kata kunci yang perlu dimiliki pamong budaya, kepekaan dan kreativitas. Kepekaan merupakan sejenis kemampuan afektif-kognitif yang menjadikan kita mengetahui dan melihat persoalan kehidupan: bahwa dalam setiap momentum tentu ada perubahan yang harus dijawab. Peka terhadap apa? Peka terhadap lingkungan sosial-kultural!
Sedang kreativitas merupakan daya cipta yang memanfaatkan kecerdasan akal-budi dan kemampuan teknis. Kreativitas angat ditentukan padat sudut pandang kita atas suatu persoalan, sehingga pencapaian kita khas, baru, segar, unik, berkualitas, berdaya guna dan berbeda dengan pencapaian orang lain. q - c
*) Indra Tranggono, Pemerhati, Aktivis Kebudayaan dan
alumnus Tamansiswa.

Senin, 02 Februari 2009

Air Mata Kristal

BURSALA mengangguk-angguk, sambil mengelus-elus jenggotnya yang rimbun. Dari balik jendela kamar lantai 111, ia memandang semburan lumpur kuning yang berbuncah-buncah. Bursala tak perlu memakai masker. Bau bacin yang menyengat dari danau lumpur itu tak terlalu menyengat dalam jarak sekitar 500 meter dari dia berdiri. Ia justru kagum melihat pemandangan yang baginya sangat fantastis itu: genangan lumpur begerak cepat seinci demi seinci, hingga menenggelamkan ribuan rumah. Ia, seperti melihat kota yang diam-diam tenggelam diiringi jerit tangis ribuan penduduk yang terapung-apung seperti butiran-butiran cendol dalam tempayan raksasa.

"Blessing in disguise! Bencana tidak mesti bikin kita menderita. Tapi juga tontonan yang menakjubkan. Dan ini bisa jadi objek wisata yang mengucurkan dolar!" Bursala menghisap cerutu Havana. "Catat. Kita mau bikin Dunia Fantasi Lumpur sekelas Disney Land!"

Greta, sekretaris pribadi yang belum sempat berpakaian itu, langsung menyambar laptop. Suara patukan burung gelatik terdengar dari balik tuts-tuts komputer mini.

"Tapi, sebaiknya dilakukan studi kelayakan dulu, Bos."
"Ah. Tugasmu cuma mencatat, sayang," tangan Bursala mengelus-elus pipi Greta.

Greta terdiam, meski diam-diam tersinggung. Tapi, tak ada yang lebih berarti dibanding uang dan kesenangan, pikirnya. Tangannya asyik memencet-mencet tuts.

"Sayang, kamu kan tahu. Instingku masih tajam mengedus proyek yang punya prospek. Ratusan proyek yang kubikin sudah jadi tambang emas…" Bursala mencium kening Greta.

"Tapi Bos…bukankah ini…."
"Kamu cuma mau bilang, penderitaan rakyat kan? Rupanya kamu lupa doktrin Bursala Sinergi: jangan gunakan perasaan dalam berbisnis. Perasaan itu hanya jadi urusan orang-orang yang sok moralis, sok hero, sok dermawan. Aku tak mau munafik. Kalau penderitaan itu bisa dijual, kenapa tidak?" Bursala menenggak anggur.

"Bagaimana dengan ganti rugi untuk warga yang jadi korban?" Greta masih memberanikan diri bertanya, tetap dengan senyuman agar suasana cair.

"Soal itu, sudah diurus pengacaraku. Dia kuminta bikin pembelaan bahwa luapan lumpur ini bukan karena kesalahan prosedur pengeboran minyak, tapi karena efek gempa bumi yang menggeliat tempo hari. Beres. Seratus persen karena bencana alam. Meski begitu, aku toh tetap kasih ganti rugi buat para korban. Yah, cuma dua-tiga M. Rakyat jangan dikasih hati. Biar mereka berlatih menderita, berlatih sabar agar hidup mereka mulia dan kelak masuk surga…" Tawa Bursala meledak. Tubuh tambunnya terguncang-guncang.

"Bapak kok tega amat…"
"Ini bukan soal tega atau kasihan. Tapi semua harus dikalkulasi dengan cermat. Prinsipnya jangan sampai rugi. Kalau terpaksa rugi uang, ya harus untung citra."

Greta mulai malas menulis. Ia seperti bicara dengan orang yang digerakkan alkohol.
***
Dengan investasi modal ratusan triliun, Bursala menyulap danau lumpur kuning itu menjadi surga bagi para pelancong. Area lumpur yang semula hanya seluas satu kota, kini sudah diperlebar menjadi satu provinsi. Sumber semburan lumpur yang semula hanya satu titik, kini diperbanyak menjadi ratusan titik. Ribuan mayat yang mengapung dari orang tua, anak muda sampai bocah tidak dibersihkan, melainkan justru diawetkan sebagai bagian yang menakjubkan dari mega-proyek super ambisius itu. Bau anyir atau bacin pun kini tak lagi menyengat. Bursala menaklukkan bau itu dengan parfum yang muncrat dari air mancur warna-warni.

Ada banyak tawaran bagi para pelancong. Mereka bisa berenang di lumpur dengan baju renang khusus yang menjamin kulit tidak akan gatal-gatal. Ada juga surfing lumpur dengan ombak buatan yang digerakkan mesin. Bagi yang ingin bersampan, Bursala pun menyediakan kapal-kapal mesin atau dayung. Mau menyelam ke dasar danau lumpur? Bisa. Bursala menyediakan peralatan sekaligus guide yang akan mengantar para pelancong hingga ke ceruk-meruk danau, menyaksikan bangkai-bangkai rumah, perabot-perabot, atau benda apa saja yang menjadi bagian dari masa silam.

Fasilitas lain, tak kalah menghibur. Ada museum lumpur berisi mayat-mayat korban yang sudah diawetkan, lengkap dengan suara jerit mereka ketika meregang nyawa, persis diorama monumen sejarah bangsa. Ada juga sinepleks yang memutar film sejarah kota atau provinsi yang tenggelam. Ada juga mall yang menyediakan barang-barang konsumsi, makanan siap saji sampai souvenir tentang rambut manusia, gigi, tangan-tangan yang melepuh, atau kantung-kantung air mata yang bercahaya bagai kristal. Jangan lupa, fasilitas lain: panti pijat. Jika engkau capek berputar-putar ke seantero danau lumpur, engkau bisa menyerahkan tubuhmu kepada para pemijat-pemijat cantik dan terampil.

"Inilah kemenangan manusia mengatasi bencana dan penderitaan!" ucap Bursala dalam pidato pembukaan, sebelum kompleks Dunia Fantasi Lumpur itu diresmikan Presiden.

Presiden pun menilai, proyek ini merupakan souvenir terpenting abad 23 yang harus disambut dengan suka cita. Ia merasa takjub dan mengapresiasi Bursala Sinergi yang telah menyulap danau penderitaan menjadi tambang emas wisata unggulan yang kini sedang diusulkan sebagai bagian dari keajaiban dunia. Bahkan Presiden juga menganugerahi penghargaan kepada Bursala, "Bintang Maha Putra Bangsa".

Usaha Bursala memang tidak sia-sia. Setiap hari, ribuan bahkan ratusan ribu pelancong luar negeri mengalir ke Dunia Fantasi Lumpur. Para pelancong itu sangat exiting menyaksikan mayat-mayat manusia yang diawetkan dan dijadikan patung-patung lengkap dengan guratan-guratan penderitaan. Patung-patung itu mengingatkan mereka kepada manusia masa lalu yang bisa mengaduh dirajam rasa sakit dan menangis dihujam penderitaan. Dan lebih ajaib lagi, patung-patung itu bisa meneteskan air mata berupa butiran-butiran kristal.

Namun, paket wisata yang paling diminati pelancong adalah Malam Sunyi di Museum Danau Lumpur. Tiket berharga ratusan dolar selalu habis. Mereka berdesak-desakan di Museum Lumpur. Tepat jam 24, mereka melihat patung-patung manusia yang sudah dibalsem itu begerak-gerak. Ribuan mayat itu membentuk komposisi yang variatif, kemudian memecah. Mereka melakukan rekonstruksi dari awal mula datangnya bencana. Diawali rumah-rumah mereka yang tenggelam, kekacauan, hingga nyawa-nyawa yang meregang.

Para pelancong memberikan tepuk tangan dengan sangat antusias, seusai rekonstruksi itu. Namun, tidak seperti biasanya di mana patung-patung itu kembali pada posisi masing-masing, malam itu mereka bergerak menyebar memadati ruangan. Tim pengaman kaget. Mereka menduga, patung-patung itu memberikan pertunjukan ekstra. Tapi ulah mereka makin tak terkontrol. Mereka menyerang para pelancong. Pelancong perempuan bule diseret ke tengah arena. Mereka melucuti perempuan itu. Tim pengaman mencoba mengendalikan suasana. Direbutnya perempuan itu. Namun mayat-mayat itu melakukan perlawanan. Salah satu anggota tim pengaman luka parah. Anggota pengaman lain pun murka. Mereka memuntahkan peluru. Tapi tubuh patung-patung itu tidak luka, apalagi roboh. Mereka makin kalap. Mereka menyerang tim keamanan, menyerang para pelancong. Mereka mengamuk.

Situasi tidak terkendali. Datang puluhan panser. Datang ratusan tentara. Mereka memuntahkan timah panas ke tubuh-tubuh yang terus mendesak bagai zombie itu. Tapi tubuh-tubuh itu mengeras bagai baja. Muntahan peluru yang gagal menembus tubuh mereka menimbulkan suara berdenting-denting. Tentara-tentara pun panik. Peluru mereka habis. Mereka menghunus bayonet. Pertarungan satu lawan satu berlangsung sangat seru. Tentara-tentara itu berusaha melumpuhkan para zombie dengan tikaman-tikaman bayonet. Namun sia-sia. Tak ada darah mengucur, kecuali tandonan lumpur yang memenuhi tubuh-tubuh mayat-mayat itu. Ratusan tentara itu akhirnya mati, bukan karena dicekik para zombie, tapi karena dirajam ketakutannya sendiri.

Sejak peristiwa berdarah itu, mayat-mayat manusia yang diawetkan dan terapung di danau lumpur pun menghilang. Juga, patung-patung manusia yang tersimpan di museum. Bursala panik. Bursala cemas. Kehangatan percintaan yang diberikan Greta pun gagal menghapus kecemasannya. Semua berlangsung hambar. Wajah ribuan mayat itu terus berkelebat, menyambar-nyambar.

Kabar hilangnya ribuan mayat korban bencana lumpur yang diawetkan itu menggegerkan seluruh negeri. Presiden memerintahkan tembak di tempat jika ditemukan ada mayat bergentayangan. Meski gudang peluru makin menipis, tak satu pun mayat itu mati untuk kedua kalinya. Bursala makin dicekam ketakutan. Penjagaan rumahnya ditingkatkan. Ia menyewa pasukan khusus dari luar negeri, yang langsung dikirim dari Amerika dan sekutunya. Konon, tentara bayaran itu merupakan alumni perang di Timur Tengah yang sukses menggulingkan Presiden Irak Saddam Hussein atau para prajurit yang sukses menggempur Lebanon bersama tentara-tentara Israel.

"Bunuh mereka, bunuh!" teriak Bursala.
Mayat-mayat itu terus merangsek hingga ke kamar Bursala. Bursala meloncat dari ranjang, meninggalkan Greta yang masih tertidur.

"Bos mimpi buruk?" Greta terbangun.
"Mereka datang. Mereka mau mencekik aku! Telepon tim keamanan! Cepat!"

"Tidak ada siapa-siapa Bos. Hanya ada aku. Greta, kekasihmu. Ayo tidur lagi, sayang…" Greta memeluk Bursala.
Mendadak Bursala menjerit-njerit histeris. Ketika ia memandang wajah kekasihnya itu, ia menemukan wajah mayat yang rusak, penuh lendir, dengan mata melotot. Sangat menakutkan. Sangat menjijikkan. Bursala menghempaskan pelukan Greta. Ia berlari menuju lemari. Mengambil pistol dan menembak Greta. Berulang kali. Hingga tubuh putih pualam itu bersimbah darah.

Bursala tertawa puas. Tapi, tubuhnya diam-diam terasa lemas. Ketika kesadarannya bangkit, ia menjerit sangat keras. Tubuh perempuan itu dipeluknya. Diciuminya, dengan gumpalan penyesalan yang menyesakkan rongga dada.

Di luar, ribuan mayat mengepung rumah Bursala. Mereka merangsek masuk. Terus ke dalam. Memburu Bursala. ***

Yogyakarta, Agustus 2006

Upacara Menunggu Kunang-kunang

SEJAK pindah di kota Glazy, aku sering disekap kesunyian yang begitu kukuh, begitu perkasa. Apalagi bila senja mulai merambati langit, merambati perbukitan, merambati lembah-lembah, merambati gerumbulan pepohonan pinus, tangan-tangan kesunyian yang muncul dari pori-pori waktu, memelukku kuat-kuat, hingga aku seperti terjerat. Lalu, malam menyempurnakan dengan kegelapan. Dan satu-satunya hiburanku hanyalah melihat tarian kunang-kurang terbang; jumlahnya bisa ribuan bahkan bisa jutaan.

Telah melekat kuat di benak ucapan Ayah, kunang-kunang itu jelmaan dari kuku orang mati. Bertahun-tahun cerita Ayah itu telah menjelma horor di kepalaku, bahkan sesudah kubaca di buku pelajaran: kunang-kunang adalah serangga malam yang gemar memamerkan cahaya. Dan anehnya, aku lebih memercayai dongeng Ayah daripada buku pelajaran yang membosankan. Meski pun aku tahu, waktu itu Ayah cuma ingin menakut-nakuti, agar aku tidak berlama-lama bermain di kegelapan dan segera tidur.

Waktu kecil, aku sering membayangkan bagaimana kunang-kunang itu tercipta. Orang-orang mati, baik yang banyak amalnya atau yang banyak dosanya, begitu ditimbun tanah, tubuh mereka akan menggelembung dan pecah. Tanah yang setia memeluk jasad mereka pun, dengan suka cita, mengeluarkan jutaan bala tentara bakteri. Dengan penuh gairah, bakteri-bakteri itu akan mengurai jasad demi jasad. Begitu semua bagian tubuh itu mencair, kuku-kuku tangan dan kaki pun saling berlepasan dari jari-jari, lalu menjelma menjadi kunang-kunang yang terbang menembus gundukan tanah. Sangat menakjubkan. Bayangan ribuan kunang-kunang itu terus mengeram di kepala, hingga aku dewasa bahkan punya anak. Setiap aku berupaya menghapusnya, jumlah kunang-kunang itu justru semakin banyak. Mereka berdesak-desakan di rongga kepala, hingga aku sering merasa pening, bahkan pingsan.

Tapi, entah kenapa, aku selalu merindukan kunang-kunang itu yang selalu datang bagai kristal-kristal cahaya, kemudian berbondong-bondong terbang entah ke mana. Selalu muncul hampir setiap malam. Jika mereka tidak datang, aku pun sering murung dan termenung di beranda rumah. Dan Aku pun setia menunggu mereka hingga kokok ayam mengejek ketololanku.

Malam demi malam, aku selalu mengadakan upacara menunggu kunang-kunang itu datang. Aku sering tidak sabar. Kulantunkan lagu yang kuhapal luar kepala: Yen Ing Tawang Ana Lintang, sebuah lagu asing yang usianya sudah ratusan tahun. Menurut ensiklopedi, lagu itu dinyanyikan Mbak Waldjinah, biduanita asal Jawa. Konon pulau Jawa pernah ada di belahan selatan dunia (aku sendiri selalu kesulitan mencari dalam peta).

Ajaib, setiap syair lagu itu mengalun menembus pori-pori malam, satu per satu kunang-kunang datang. Tidak terlalu lama, jumlahnya mereka mencapai ratusan, ribuan, ratusan ribu bahkan aku sulit menemukan angka perkiraan. Mungkin jutaan. Yang kutahu hanyalah, padang luas di depan apartemen kami itu mendadak dipenuhi lampu-lampu kristal yang terus bergerak membentuk berbagai komposisi. Kunang-kunang itu seperti mengerti makna syair lagu yang kulantunkan. Mereka seperti mendengarkan dengan khitmat kalimat-demi kalimat. Setelah lagu itu habis, mereka akan terbang meninggi lalu menjauh dan terus menjauh.

Aku sering iseng berpikir: jika di daerah sekitar tempat tinggalku ini ada begitu banyak kunang-kunang tentu juga ada banyak orang yang dikuburkan di sini. Tapi, kenapa tidak ada satu pun kuburan di wilayah kami? Satu-satunya kuburan hanyalah di ujung jalan menuju kota Zan-zan yang jauhnya sekitar 20 kilometer dari kota Glazy. Jumlah orang yang dikubur di sana pun hanya puluhan. Lalu, dari mana kunang-kunang itu datang? Apakah mereka dikrim Tuhan dari langit untuk menghiburku?

Sebagai peneliti, aku tertarik mengamati kehidupan kunang-kunang itu. Malam itu, sesudah mereka datang mendengarkan laguku, mereka berbondong-bondong pergi ke utara, hanya beberapa meter dari apartemenku. Kuikuti mereka, setengah berlari. Begitu sampai di dekat pohon pinus, mendadak aku melihat tanah merekah dan pelan-pelan terbuka, diiringi suara gemuruh seperti deru ribuan mesin buldoser. Aku gemetar. Tapi, rasa penasaran membuatku bertahan.

Pada rekahan tanah sekitar tiga meter itu, jutaan kunang itu masuk ke dalam tanah, seperti barisan lampu-lampu kristal yang dibawa para peri, panjang sekali. Jantungku pun berdegub, ketika lampu-lampu kristal itu makin jauh dan sayup ditelan kegelapan ruang bawah tanah. Lalu terdengar suara benturan sangat keras. Tanah yang merekah itu menyatu kembali.

Ah, kunang-kunang itu, siapa kalian?

Malam itu, kutinggalkan istri dan anakku di meja makan. Aku sama sekali tak punya selera makan. Perutku terasa sangat kenyang, meski hanya terisi sepotong roti tawar dan air mineral. Tanpa sepengetahuan anak dan isteriku, aku berjalan membelah kegelapan malam. Kerah jaket kuangkat tinggi-tinggi agar hawa dingin tak leluasa merajamku. Namun, berjalan memasuki hutan kecil, tubuhku terasa menggigil. Hawa dingin itu tetap perkasa, ternyata. Tapi aku tak peduli. Kuayun langkahku, makin dalam memasuki hutan. Aku ingin menemukan lubang tempat jutaan kunang-kunang itu muncul dan terbang ke utara. Rasa penasaran mengusir rasa lelah. Kuayun kaki ku terus melangkah. Tepat di kaki bukit kecil, gejolak perasaan menghentikan kakiku. Berdiri setengah gemetar, kupandangi daerah sekitar yang penuh pohon akasia atau rumput-rumput liar. Tak ada siapa-siapa di sini, kecuali hanya gelap malam yang begitu perkasa meringkus tubuhku.

Namun, belum sempat aku duduk di atas batu, mendadak terdengar suara gemuruh serupa deru mesin ribuan buldoser. Kurasakan bumi terguncang. Aku undur beberapa langkah dan menemukan pohon akasia untuk bertahan. Seperti kuduga, tanah itu pun merekah. Kuharapkan ribuan kunang-kunang muncul dari dalam tanah. Tapi dugaanku meleset. Yang muncul adalah sosok-sosok manusia. Mereka muncul seperti gerakan gasing, memutar sangat cepat lalu melesat ke udara dan kaki mereka menangcap di tanah dengan sempurna. Aku terhenyak. Jantungku berdengup sangat cepat. Kucoba angkat kaki, tapi seluruh persendianku mendadak ngilu dan lemas. Aku hanya bisa berdiri gemetar. Cemas.

Sosok-sosok manusia itu melesat cepat, merenggut tubuhku. Tangan-tangan mereka begitu kukuh meringkus, hingga perlawananku sia-sia. Aku tak bisa meronta, tak bisa bergerak. Bahkan untuk sekadar teriakpun, tidak.

Mereka membawaku masuk liang. Kurasakan tubuhku berputar sangat cepat seperti gasing, bersama sosok-sosok manusia itu. Tubuh kami terus berputar ke bawah, terus ke bawah hingga dasar.

Kutemukan daerah yang asing. Sebuah hamparan tanah cokelat yang sangat luas. Aku seperti memasuki dunia animasi, ketika kulihat bangunan-bangunan yang tidak menancap di tanah tapi mengambang, namun tak bergoyang. Juga jalan-jalan yang membentang. Juga pohon-pohon, sungai-sungai, semuanya mengambang. Semuanya melayang, juga tubuhku, dan tubuh manusia-manusia aneh itu.

Mereka membawaku ke sebuah bangunan besar tanpa pilar, yang seluruh dindingnya dan gentengnya terdiri atas tanah liat. Juga lampu, meja, kursi, perabot rumah, gelas, dan ranjang. Semuanya serba cokelat tanah.

"Selamat datang di kota kami," sapa orang tua yang seluruh tubuhnya berwarna cokelat tanah persis patung mentah.

Aku masih bungkam. Orang tua itu mengulurkan tangannya. Begitu kupegang, kurasakan tangan itu sangat dingin.

"Kamilah kunang-kunang yang setiap malam mengunjungi Anda," ujar orang tua itu dengan senyum mengembang.

Aku mengangguk. Tapi setengah bergidik.

"Berarti Anda semua ini telah mati," aku mundur beberapa langkah.

"Mati? Kami tidak tahu persis. Yang kami tahu, kami ini hanya berpindah dunia, berpindah kehidupan...," ujar si tua itu memperlihatkan gigi tanah liatnya.

"Siapa kalian?" aku memberanikan diri bertanya, pelan.

"Sama seperti Anda. Kami telah ratusan tahun menghuni kota ini. Semua penduduk di sini tak ada yang punya nama. Kami saling memanggil dengan angka. Dan masing-masing warga kami selalu ingat nomor orang lain, meski jumlah kami ini jutaan. Nama, adalah tanda yang mengandung riwayat. Kami telah mengubur dalam-dalam riwayat hidup kami. Riwayat yang sangat menyakitkan." Orang tua itu bicara dengan tatapan mata kosong.

Kulihat mata tanah liatnya sama sekali tak berkedip.

"Kenapa riwayat itu harus dikubur?"

Mendadak susana berubah sangat hening dan genting. Ruangan seperti membatu. Dadaku sesak. Aku merasa telah lancang bertanya dan menyakiti hati mereka. "Maafkan saya...maafkan saya..."

Mereka saling memandang. Lalu orang tua itu berjalan dengan tubuh melayang mendekatiku, "Anda tidak salah. Kami saja yang malas mengingat. Terlalu menyakitkan..."

Orang tua itu mengajakku mengitari ruangan. Tangannya menarik semacam kain yang membungkus dinding itu. Dan terlihat foto-foto yang melayang. Foto-foto itu tampak sangat kusam, warnanya telah berubah cokelat. Di sana kulihat rumah-rumah mereka yang tenggelam oleh lumpur. Juga kulihat foto orang-orang yang meregangkan nyawa. Lalu dengan sigap, orang tua itu menarik kain penutup dinding. Ia lama tak bicara.

"Mereka telah merampas hak hidup kami. Menenggelamnya sejarah kami, seluruh kenangan kami, nasib kami...Mereka rakus membajak alam, tapi tak becus. Bukan gas atau minyak yang mereka dapat, tapi lumpur yang menyembur. Dan lumpur itu harus kami telan."

Orang tua itu memandangku. Aku merasakan ada kobaran api di balik bola mata tanah liatnya.

"Di mana dulu Anda tinggal?"

"Di Jawa, pulau yang kini entah bernama apa."

Aku terhenyak. Mendandak lagu Yen Ing Tawang Ana Lintang kembali mencuat dari pita ingatanku. Lagu itu selalu kunyanyikan untuk mengundang kunang-kunang. Mataku menyapu orang-orang, kulihat jari-jari tangan dan kaki-kaki mereka. Semuanya tak punya kuku. Aku jadi semakin yakin pada dongeng Ayah waktu aku masih bocah: kunang-kunang jelmaan kuku orang mati. Mereka bukan serangga yang bisa mati disemprot dengan obat antihama. Mereka tak pernah mati. Tak pernah.***

Yogyakarta September 2006