Sabtu, 21 Februari 2009

Parodi Politik

JURU bicara kepresidenan Andi Mallarangeng mengimbau publik untuk menghormati Presiden RI sebagai lembaga negara. Pernyataan Andi tersebut, terkait dengan munculnya plesetan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di internet (antv, 10/11).
Di layar teve itu juga dicuplik sebagian adegan yang melukiskan Presiden SBY berpidato, namun suaranya telah diganti suara orang lain dan bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan Jawa. Saya tidak tahu persis apa isi plesetan pidato itu, karena antv menyiarkan plesetan itu tidak utuh.
Plesetan pidato Presiden SBY bisa disebut sebagai parodi politik. Parodi artinya ”peniruan yang dilakukan untuk mengejek seseorang atau lembaga yang berada di ranah politik”. Ada dua bentuk ejekan; (1) ejekan yang simpatik dan etis dan (2) ejekan yang melecehkan. Parodi politik memiliki tujuan tertentu, misalnya (1) desakralisasi posisi sosial/politik seseorang misalnya presiden, (2) kritik sosial-politik dan (3) guyonan politik biasa (humor).
Desakralisasi posisi presiden merupakan upaya untuk melucuti hal-hal yang dianggap sakral atas sosok presiden. Pesan yang ingin disampaikan adalah presiden merupakan manusia biasa yang bisa disentuh (touchable). Begitu juga jabatan presiden yang dipahami sebagai peran dan fungsi politik yang terbuka atas berbagai penawaran nilai. Munculnya desakralisasi atas posisi presiden di Indonesia berlangsung secara tajam menjelang lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998, baik dilakukan oleh para mahasiswa melalui demonstrasi maupun para seniman melalui pementasan. Misalnya, aktor Butet Kartaredjasa yang menirukan suara Soeharto dalam pidato parodi secara monolog atau dalam pementasan drama.
Kritik sosial-politik dalam parodi politik adalah upaya mengkritisi kebijakan politik (dalam kasus ini adalah presiden) secara lebih serius dan diekspresikan secara jenaka, sehingga content (muatan) kritik lebih komunikatif. Pesan yang ingin disampaikan pembuat parodi antara lain adalah: tidak ada kebenaran mutlak dalam berbagai kebijakan, termasuk kebijakan presiden, karena kebenaran tidak pernah tunggal. Kebijakan presiden pun, memiliki banyak celah yang memungkinkan orang untuk merespons secara kritis.
Namun tidak semua parodi politik memiliki maksud ideal tersebut. Ini tergantung dari kapasitas para pembuat parodi politik. Jika kapasitas mereka terbatas, maka parodi politik akan terjebak menjadi guyonan biasa (tujuan ketiga) dengan kadar ejekan yang lebih kental daripada sikap kritis. Efek yang ditimbulkan tak lebih dari sekadar banyolan banal (kasar dan dangkal), bukan banyolan cerdas. Di sini tokoh tertentu, lebih diposisikan sebagai objek dagelan.
Ada bermacam-macam parodi politik. Misalnya, parodi politik visual yang berupa tiruan fisik atas tokoh. Di sini, orang melakukan parodi berdasarkan bentuk fisik tokoh dan detail perilakunya. Contohnya adalah parodi atas tokoh Gus Dur melalui citraan Gus Pur dan peniruan atas Wapres Jusuf Kalla oleh Ucup Kelik dalam tayangan Democrazy (Metro TV).
Ada juga parodi politik auditif: parodi berbentuk peniruan suara yang bertujuan untuk melakukan dekonstruksi atas citra tokoh, misalnya parodi yang dilakukan Butet dengan menirukan suara Soeharto. Yang lain? Parodi tekstual, yakni peniruan berbentuk teks, statemen tokoh-tokoh tertentu yang diplesetkan. Di sini yang dipentingkan adalah dekonstruksi atas content.
Setidaknya ada dua jenis parodi politik. Pertama, parodi politik kritis dan kedua parodi politis magis. Yang pertama bertujuan mentrasnformasikan berbagai kesadaran kritis (baca: budaya tanding) atas kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang dibangun oleh kekuatan mainstream atau dominan misalnya rezim/pemerintah. Sedang yang kedua, bertujuan menyihir masyarakat dengan bentuk-bentuk yang seolah kritis namun sesungguhnya tidak lebih dari hiburan yang justru membuat publik menjadi eskapis (melarikan diri dari kenyataan). Misalnya parodi politik yang lebih mementingkan humor daripada content kritis.
Kenapa parodi politik marak di masyarakat?
Alasan kesumpekan sosial-politik-ekonomi dapat menjadi latar belakang orang melakukan parodi. Di sini parodi politik dijadikan sebagai pelepasan, outlet, atau jalan keluar bagi bermacam kesumpekan sosial, politik dan ekonomi.
Selain itu parodi politik juga didorong oleh tuntutan industrial, di mana parodi politik dipahami sebagai komoditas yang laku dijual.
Parodi politik cenderung dihadirkan sebagai hiburan biasa, seperti yang kini sedang marak di beberapa stasiun teve. Watak industri selalu meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menjual apa saja yang sedang ”in” atau aktual di masyarakat. Bukan content atau persoalannya yang utama, melainkan kemasan dan seluruh gimmick yang menarik dan laku dijual. Bahkan tuntutan industri sering menjebak parodi politik menjadi guyonan politik yang hanya mengandalkan banyolan/lawakan dangkal. Di sana memang ada peniruan tokoh-tokoh penting misalnya presiden atau wakil presiden namun sesungguhnya yang diparodikan bukan substansinya melainkan kulit persoalannya. Sehingga, tokoh penting itu sesungguhnya tidak utama, melainkan sekadar tempelan.
Merespons pernyataan Andi Mallarangeng bahwa publik perlu menghormati presiden, kita bisa mengaitkannya dengan unsur etika sosial dalam parodi. Tidak ada ekspresi yang bebas nilai. Ada kerangka etika dan moralitas yang melingkupi setiap ekspresi. Karena itu, parodi politik yang cerdas adalah parodi yang tetap mempertimbangkan etika sosial (tidak menyakiti perasaan orang atau kelompok)
Selain itu, pelaku atau pembuat parodi politik pun harus memiliki rasa tanggung jawab atas semua risiko yuridis. Sebab, mungkin sebuah parodi politik bisa menimbulkan rasa tidak senang bagi orang yang diparodikan. Ini menunjukkan bahwa parodi politik membutuhkan kemampuan yang berlapis-lapis baik secara intelektual, teknis maupun etis dan estetis. Modal banyolan saja tidak cukup. (Indra Tranggono, Pengamat Budaya)-a

Tidak ada komentar:

Posting Komentar