BURSALA mengangguk-angguk, sambil mengelus-elus jenggotnya yang rimbun. Dari balik jendela kamar lantai 111, ia memandang semburan lumpur kuning yang berbuncah-buncah. Bursala tak perlu memakai masker. Bau bacin yang menyengat dari danau lumpur itu tak terlalu menyengat dalam jarak sekitar 500 meter dari dia berdiri. Ia justru kagum melihat pemandangan yang baginya sangat fantastis itu: genangan lumpur begerak cepat seinci demi seinci, hingga menenggelamkan ribuan rumah. Ia, seperti melihat kota yang diam-diam tenggelam diiringi jerit tangis ribuan penduduk yang terapung-apung seperti butiran-butiran cendol dalam tempayan raksasa.
"Blessing in disguise! Bencana tidak mesti bikin kita menderita. Tapi juga tontonan yang menakjubkan. Dan ini bisa jadi objek wisata yang mengucurkan dolar!" Bursala menghisap cerutu Havana. "Catat. Kita mau bikin Dunia Fantasi Lumpur sekelas Disney Land!"
Greta, sekretaris pribadi yang belum sempat berpakaian itu, langsung menyambar laptop. Suara patukan burung gelatik terdengar dari balik tuts-tuts komputer mini.
"Tapi, sebaiknya dilakukan studi kelayakan dulu, Bos."
"Ah. Tugasmu cuma mencatat, sayang," tangan Bursala mengelus-elus pipi Greta.
Greta terdiam, meski diam-diam tersinggung. Tapi, tak ada yang lebih berarti dibanding uang dan kesenangan, pikirnya. Tangannya asyik memencet-mencet tuts.
"Sayang, kamu kan tahu. Instingku masih tajam mengedus proyek yang punya prospek. Ratusan proyek yang kubikin sudah jadi tambang emas…" Bursala mencium kening Greta.
"Tapi Bos…bukankah ini…."
"Kamu cuma mau bilang, penderitaan rakyat kan? Rupanya kamu lupa doktrin Bursala Sinergi: jangan gunakan perasaan dalam berbisnis. Perasaan itu hanya jadi urusan orang-orang yang sok moralis, sok hero, sok dermawan. Aku tak mau munafik. Kalau penderitaan itu bisa dijual, kenapa tidak?" Bursala menenggak anggur.
"Bagaimana dengan ganti rugi untuk warga yang jadi korban?" Greta masih memberanikan diri bertanya, tetap dengan senyuman agar suasana cair.
"Soal itu, sudah diurus pengacaraku. Dia kuminta bikin pembelaan bahwa luapan lumpur ini bukan karena kesalahan prosedur pengeboran minyak, tapi karena efek gempa bumi yang menggeliat tempo hari. Beres. Seratus persen karena bencana alam. Meski begitu, aku toh tetap kasih ganti rugi buat para korban. Yah, cuma dua-tiga M. Rakyat jangan dikasih hati. Biar mereka berlatih menderita, berlatih sabar agar hidup mereka mulia dan kelak masuk surga…" Tawa Bursala meledak. Tubuh tambunnya terguncang-guncang.
"Bapak kok tega amat…"
"Ini bukan soal tega atau kasihan. Tapi semua harus dikalkulasi dengan cermat. Prinsipnya jangan sampai rugi. Kalau terpaksa rugi uang, ya harus untung citra."
Greta mulai malas menulis. Ia seperti bicara dengan orang yang digerakkan alkohol.
***
Dengan investasi modal ratusan triliun, Bursala menyulap danau lumpur kuning itu menjadi surga bagi para pelancong. Area lumpur yang semula hanya seluas satu kota, kini sudah diperlebar menjadi satu provinsi. Sumber semburan lumpur yang semula hanya satu titik, kini diperbanyak menjadi ratusan titik. Ribuan mayat yang mengapung dari orang tua, anak muda sampai bocah tidak dibersihkan, melainkan justru diawetkan sebagai bagian yang menakjubkan dari mega-proyek super ambisius itu. Bau anyir atau bacin pun kini tak lagi menyengat. Bursala menaklukkan bau itu dengan parfum yang muncrat dari air mancur warna-warni.
Ada banyak tawaran bagi para pelancong. Mereka bisa berenang di lumpur dengan baju renang khusus yang menjamin kulit tidak akan gatal-gatal. Ada juga surfing lumpur dengan ombak buatan yang digerakkan mesin. Bagi yang ingin bersampan, Bursala pun menyediakan kapal-kapal mesin atau dayung. Mau menyelam ke dasar danau lumpur? Bisa. Bursala menyediakan peralatan sekaligus guide yang akan mengantar para pelancong hingga ke ceruk-meruk danau, menyaksikan bangkai-bangkai rumah, perabot-perabot, atau benda apa saja yang menjadi bagian dari masa silam.
Fasilitas lain, tak kalah menghibur. Ada museum lumpur berisi mayat-mayat korban yang sudah diawetkan, lengkap dengan suara jerit mereka ketika meregang nyawa, persis diorama monumen sejarah bangsa. Ada juga sinepleks yang memutar film sejarah kota atau provinsi yang tenggelam. Ada juga mall yang menyediakan barang-barang konsumsi, makanan siap saji sampai souvenir tentang rambut manusia, gigi, tangan-tangan yang melepuh, atau kantung-kantung air mata yang bercahaya bagai kristal. Jangan lupa, fasilitas lain: panti pijat. Jika engkau capek berputar-putar ke seantero danau lumpur, engkau bisa menyerahkan tubuhmu kepada para pemijat-pemijat cantik dan terampil.
"Inilah kemenangan manusia mengatasi bencana dan penderitaan!" ucap Bursala dalam pidato pembukaan, sebelum kompleks Dunia Fantasi Lumpur itu diresmikan Presiden.
Presiden pun menilai, proyek ini merupakan souvenir terpenting abad 23 yang harus disambut dengan suka cita. Ia merasa takjub dan mengapresiasi Bursala Sinergi yang telah menyulap danau penderitaan menjadi tambang emas wisata unggulan yang kini sedang diusulkan sebagai bagian dari keajaiban dunia. Bahkan Presiden juga menganugerahi penghargaan kepada Bursala, "Bintang Maha Putra Bangsa".
Usaha Bursala memang tidak sia-sia. Setiap hari, ribuan bahkan ratusan ribu pelancong luar negeri mengalir ke Dunia Fantasi Lumpur. Para pelancong itu sangat exiting menyaksikan mayat-mayat manusia yang diawetkan dan dijadikan patung-patung lengkap dengan guratan-guratan penderitaan. Patung-patung itu mengingatkan mereka kepada manusia masa lalu yang bisa mengaduh dirajam rasa sakit dan menangis dihujam penderitaan. Dan lebih ajaib lagi, patung-patung itu bisa meneteskan air mata berupa butiran-butiran kristal.
Namun, paket wisata yang paling diminati pelancong adalah Malam Sunyi di Museum Danau Lumpur. Tiket berharga ratusan dolar selalu habis. Mereka berdesak-desakan di Museum Lumpur. Tepat jam 24, mereka melihat patung-patung manusia yang sudah dibalsem itu begerak-gerak. Ribuan mayat itu membentuk komposisi yang variatif, kemudian memecah. Mereka melakukan rekonstruksi dari awal mula datangnya bencana. Diawali rumah-rumah mereka yang tenggelam, kekacauan, hingga nyawa-nyawa yang meregang.
Para pelancong memberikan tepuk tangan dengan sangat antusias, seusai rekonstruksi itu. Namun, tidak seperti biasanya di mana patung-patung itu kembali pada posisi masing-masing, malam itu mereka bergerak menyebar memadati ruangan. Tim pengaman kaget. Mereka menduga, patung-patung itu memberikan pertunjukan ekstra. Tapi ulah mereka makin tak terkontrol. Mereka menyerang para pelancong. Pelancong perempuan bule diseret ke tengah arena. Mereka melucuti perempuan itu. Tim pengaman mencoba mengendalikan suasana. Direbutnya perempuan itu. Namun mayat-mayat itu melakukan perlawanan. Salah satu anggota tim pengaman luka parah. Anggota pengaman lain pun murka. Mereka memuntahkan peluru. Tapi tubuh patung-patung itu tidak luka, apalagi roboh. Mereka makin kalap. Mereka menyerang tim keamanan, menyerang para pelancong. Mereka mengamuk.
Situasi tidak terkendali. Datang puluhan panser. Datang ratusan tentara. Mereka memuntahkan timah panas ke tubuh-tubuh yang terus mendesak bagai zombie itu. Tapi tubuh-tubuh itu mengeras bagai baja. Muntahan peluru yang gagal menembus tubuh mereka menimbulkan suara berdenting-denting. Tentara-tentara pun panik. Peluru mereka habis. Mereka menghunus bayonet. Pertarungan satu lawan satu berlangsung sangat seru. Tentara-tentara itu berusaha melumpuhkan para zombie dengan tikaman-tikaman bayonet. Namun sia-sia. Tak ada darah mengucur, kecuali tandonan lumpur yang memenuhi tubuh-tubuh mayat-mayat itu. Ratusan tentara itu akhirnya mati, bukan karena dicekik para zombie, tapi karena dirajam ketakutannya sendiri.
Sejak peristiwa berdarah itu, mayat-mayat manusia yang diawetkan dan terapung di danau lumpur pun menghilang. Juga, patung-patung manusia yang tersimpan di museum. Bursala panik. Bursala cemas. Kehangatan percintaan yang diberikan Greta pun gagal menghapus kecemasannya. Semua berlangsung hambar. Wajah ribuan mayat itu terus berkelebat, menyambar-nyambar.
Kabar hilangnya ribuan mayat korban bencana lumpur yang diawetkan itu menggegerkan seluruh negeri. Presiden memerintahkan tembak di tempat jika ditemukan ada mayat bergentayangan. Meski gudang peluru makin menipis, tak satu pun mayat itu mati untuk kedua kalinya. Bursala makin dicekam ketakutan. Penjagaan rumahnya ditingkatkan. Ia menyewa pasukan khusus dari luar negeri, yang langsung dikirim dari Amerika dan sekutunya. Konon, tentara bayaran itu merupakan alumni perang di Timur Tengah yang sukses menggulingkan Presiden Irak Saddam Hussein atau para prajurit yang sukses menggempur Lebanon bersama tentara-tentara Israel.
"Bunuh mereka, bunuh!" teriak Bursala.
Mayat-mayat itu terus merangsek hingga ke kamar Bursala. Bursala meloncat dari ranjang, meninggalkan Greta yang masih tertidur.
"Bos mimpi buruk?" Greta terbangun.
"Mereka datang. Mereka mau mencekik aku! Telepon tim keamanan! Cepat!"
"Tidak ada siapa-siapa Bos. Hanya ada aku. Greta, kekasihmu. Ayo tidur lagi, sayang…" Greta memeluk Bursala.
Mendadak Bursala menjerit-njerit histeris. Ketika ia memandang wajah kekasihnya itu, ia menemukan wajah mayat yang rusak, penuh lendir, dengan mata melotot. Sangat menakutkan. Sangat menjijikkan. Bursala menghempaskan pelukan Greta. Ia berlari menuju lemari. Mengambil pistol dan menembak Greta. Berulang kali. Hingga tubuh putih pualam itu bersimbah darah.
Bursala tertawa puas. Tapi, tubuhnya diam-diam terasa lemas. Ketika kesadarannya bangkit, ia menjerit sangat keras. Tubuh perempuan itu dipeluknya. Diciuminya, dengan gumpalan penyesalan yang menyesakkan rongga dada.
Di luar, ribuan mayat mengepung rumah Bursala. Mereka merangsek masuk. Terus ke dalam. Memburu Bursala. ***
Yogyakarta, Agustus 2006
Senin, 02 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar